Rakyat menggugat, eh menggumam … emangnya gue pikirin !
Saya bernama “Rakyat” Indonesia
Cerita ini bermula saat saya pada tahun 1999 disaat terjadinya pemilu paling demokratis pertama (menurut saya) dilaksanakan setelah orde baru berkuasa mutlak selama lebih dari 30 tahun, yaitu ikut memikul tanggung jawab sebagai wakil ketua pengawas pemilu kota Bandarlampung.
Pada saat itulah saya mulai menyadari dan mencoba mendalami aspek hukum tata negara dalam bentuk nyata secara praktis. Sebelumnya saya hanya sedikit sekali memahami aspek praktis ini karena sejak kecil hanya mendapatkan dogma-dogma dan ataupun cekokan ideologi Pancasila & UUD-45 disekolah yang dijelaskan oleh guru dan atupun dosen-dosen secara teoritis belaka.
Sampai dengan saat ini saya merasa masih menjadi rakyat murni karena belum pernah sekalipun tercemar warna politik manapun ,belum pernah menjadi anggota partai politik dan atau afiliasi dari partai politik manapun, kata orang non-partisan lah istilahnya.
Kini pada tahun 2010 sepuluh tahun sudah berlalu, setelah rakyat Indonesia merasakan 3 (tiga) kali pemilu akbar bahkan pemilu langsung pemilihan presiden dan wakil presiden, maka rakyat masih merasakan ada sesuatu yang kurang puas didalam hati sanubari ini.
Rasa ketidakpuasan tersebut bukan hanya pada era presiden SBY saja, tapi juga dirasakan sejak jamannya Gus-Dur dan jamannya Megawati masih menjadi presiden, rakyat pun mencoba mengingat dan mereka-reka apa kiranya penyebab ketidakpuasan tersebut. Sesuai dengan kadar keilmuan yang dimiliki rakyatpun mencoba membuat analisis dengan kerangka pikir kegiatan rakyat sehari-hari khususnya pada kondisi belakangan (akhir-akhir) ini.
Hikmah terbesar yang diberikan reformasi
Setelah terjadinya reformasi diberbagai bidang selepas tahun 1998, yaitu dengan ditandainya babak baru tersebut pada pemilu 1999 saya mencoba melihat saat ini apakah yang kami rakyat terima sudah sesuai dengan harapan-harapan yang terjadi pada saat dulu itu ?
Berbagai kilas balik suasana politik dan pesta demokrasi tersebut silih berganti hingga saat ini tidak terasa rakyat sudah sampai dipenghujung tahun 2010, kembali lagi lah .. apa yang diperoleh saat ini ?
Setelah mencoba bolak-balik melihat, merasakan, mendengarkan, mengikuti, berbagai peristiwa tersebut tampaknya rakyat tidak sanggup untuk mencari 3 saja hikmah reformasi tersebut kecuali 2 (dua) hal yaitu “Kebebasan Pers” dan “Hak azazi manusia”. Mengapa ? Mengapa hanya kedua hal tersebut yang bolak-balik terasakan ? Mengapa yang lain tak terasakan ?
Ternyata rezim dulu itu (rezim orde baru) memang sangat tidak memiliki kebebasan pers sama sekali didalam suatu sistem kekuasaan negara/ pemerintahan yang sangat otoriter pula. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa hikmah terbesar dari reformasi adalah “kebebasan-pers” dan “HAM”.
Keraguan terhadap demokrasi
Kini dipenghujung tahun 2010 rakyat masih merasakan (baik nyata maupun secara psikologis) harga-harga yang membumbung tinggi, ditambah dengan sulitnya mencari pekerjaan yang layak yaitu yang paling tidak sama atau lebih sedikit saja dibandingkan upah minimum yang ditetapkan pemerintah.
Jalan/ jembatan/ irigasi dan pembangunan lainnya yang diperlukan rakyat (bukan gedung bertingkat , perumahan mewah dan mall-mall itu lho ) kok rasanya enggak tambah-tambah ya … oo ada satu “jembatan suramadu”, tapi .. bagaimana kami yang ditempat lain ini ?
Untuk pendidikan katanya ada 20% dari anggaran pemerintah, kok anak-anak dan keponakanku semakin susah masuk perguruan tinggi negeri ya ? Bahkan ternyata di PTN (Perguruan Tinggi Negeri) tersebut ada sistem penerimaan yang harus menguras uang puluhan bahkan ratusan juta rupiah ! Mana tahaan, mana mampu lah kami ini. Pada saat anak-anak dan keponakanku itu tidak bisa tembus PTN , ternyata biaya di PTS (perguruan tinggi swasta) tidak juga sanggup kami pikul.
Bagaimana masalah sosial ? Kayaknya setiap hari semakin banyak saja gelandangan dan pengemis berkeliaran bahkan mampir kerumah-rumah warga (yang pasti orkay dan pejabat enggak akan merasakan hal ini karena ada penjaganya alias satpam yang galak-galak itu), bahkan modus operasi nya lebih canggih-canggih lagi saat ini.
Bagaimana masalah keamanan ? Wah wah … mulai dari masalah teroris, perampokan hingga masalah sodomi dan mutilasi enggak berhenti-berhenti dech.
Bagaimana masalah korupsi ? Weleh weleh … akhirnya rakyat baru tau kalau pejabat Indonesia itu 90% koruptor, darimana tau ? Ya dari televisi lah, dikatakan disitu bahwa 90% pemerintah daerah yang ada sudah pernah masuk penjara karena kepala daerahnya korupsi, kalau pimpinannya korup yaa sudah pastilah anak buahnya korup juga wak. Kalau pimpinan bersih anak buah mungkin bersih tapi belum tentu, tapi kalau pimpinan korup sudah pasti anak buah ikut korup ya kan wak ?
Dari pandangan positip bisa dikatakan bahwa itu artinya pemerintah bisa membongkar berbagai borok-borok korupsi hampir diseluruh sektor kegiatan, termasuk dedengkotnya yaitu Polisi, Kejaksaan dan DPR. Tapi dari sudut pandang lain rakyat semakin ngeri dan semakin tidak percaya kepada lembaga resmi seperti Polisi, Kejaksaan dan DPR itu, kami tidak benci mereka tapi persepsi itu tumbuh begitu saja didalam kepala kami.
Pertanyaannya, mengapa setelah ada demokrasi banyak hal harus kami korbankan ? Mengapa ? Apakah demokrasi tidak berarti peluang bagi kami untuk meningkatkan taraf kehidupan kami secara ekonomi dan sosial ? Ahh anggap saja kami yang bodoh ini memang tidak ngerti apa itu demokrasi.
Trias Politica
Kata guru-guru kami dulu sewaktu belajar pendidikan kewargaan negara, di Perancis ditemukanlah konsep bernegara yang disebut 'trias-politica' tersebut. Katanya konsep tersebut memisahkan lembaga-lembaga negara dalam kelompok Legislatip-Eksekutip-Yudikatip.
Dengan bekal sesederhana itu saja rakyat coba melihat kondisi akhir-akhir ini dimana pembelajaran rakyat sudah agak lebih maju lagi sejak diperkenankannya televisi menyiarkan berbagai perdebatan orang-orang pintar khususnya perdebatan diseputar masalah hukum tata negara di negeri ini.
Menurut info dari televisi itu pula-lah kami rakyat jadi tau bahwa fungsi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) itu ada tiga, yaitu fungsi LEGISLASI, fungsi ANGGARAN dan fungsi PENGAWASAN.
Pengenalan dan pemahaman rakyat pada anggota DPR/DPRD
Dengan berjalannya waktu, dengan terbukanya informasi tentang gerak-gerik anggota DPR/DPRD di televisi, dengan pengalaman pribadi kami mendatangi/menjambangi anggota DPR/DPRD ditempat mereka bekerja paling tidak terbentuk pemahaman baru dibenak kami.
Kalau kami datang ke gedung DPR/DPRD, pada umumnya mereka (anggota DPR/DPRD) tersebut kami anggap kerja kalau mereka berada di ruang yang tulisannya KOMISI, sedangkan kalau kami bertemu mereka diruang FRAKSI (bahkan untuk sebagian DPRD mencari ruangan fraksi ini susah sekali karena tersembunyi dan berliku-liku) kayaknya kami seperti datang keruangan dimana kami diterima secara santai/tidak formal, serta seperti pertemuan diwarung kopi saja bahkan.
Diruangan fraksi itulah berbagai rahasia kehidupan siang dan malam anggota DPR/DPRD tersebut kami dengar dan ikuti secara seksama. Peranan anggota panitia anggaran untuk DPRD serta peranan anggota fraksi yang memikul jabatan ketua komisi juga membuat kami terkagum-kagum mengingat ternyata wibawa mereka sangat kuat dimata para pelaksana pemerintahan baik di pusat maupun didaerah.
Kaidah-kaidah Manajemen Umum dan fungsi DPR
Melihat ketiga fungsi yang ada dalam lembaga DPR tersebut maka kami coba mereka-reka peranan SAKRAL tersebut.
Pada fungsi legislasi sudah selayaknya DPR menjadi panglimanya, sesuai dengan judul dalam trias-politica nya Montesquieu, hal ini terlihat walaupun pemerintah bisa membuat Perppu namun posisinya kalah sebenang dibawah kekuasaan DPR, jadi pemerintah enggak bisa sewenang-wenang buat perpu sa'enak udelnya saja.
Pada fungsi anggaran kelihatannya agak aneh. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa yang ahli merencanakan pastilah ahlinya, jadi bukan DPR, perencana handal adanya di pemerintah, kalo jaman dulu ada BAPPENAS, anggaran pembangunan dan anggaran rutin digarapnya itu … oke sekarangpun tetap digarap pemerintah, tapi … harus disetujui dulu oleh DPR/DPRD wah wah gimana ini, coba kalo diserahkan ke DPR/DPRD .. pastilah mereka nggak bisa alias KO (knock-out) buat perencanaan yang disebutnya anggaran tersebut, alhasil benar sekali sebagaimana yang sering rakyat dengar diruang fraksi bahwa kewenangan tersebut pada akhirnya hanya dijadikan alat pemaksa agar rekanan yang melaksanakan anggaran harus mengikut sertakan pilihan oknum-oknum anggota DPR tersebut.
Yang paling cilaka .. apabila katakanlah semua rencana pemerintah propinsi yang seharusnya bisa dibuat secara terkoordinasi ditingkat nasional bisa diobrak-abrik oleh DPRD di propinsi tersebut dengan sewenang-wenang, maka bisa dibayangkan point-point anggaran yang tadinya prioritas bisa saja pada prosesnya melorot prioritasnya, artinya tidak akan mungkin secara nasional Indonesia mengalami kemajuan dengan perencanaan anggaran secara terpadu lagi.
Yang juga cilaka, katakanlah anggota DPRD tersebut dipilih rakyat secara demokratis, katakanlah misalnya rakyat memilih anggota DPRD 90% nya terdiri dari mantan guru agama dan mantan guru olahraga. Bagaimana mungkin para anggota DPRD tersebut dapat mengerti perencanaan kegiatan eksekutip secara terperinci ? Dengan kata lain tidak akan mungkin DPRD memiliki pas proporsi anggota DPR sesuai keahliannya dalam perencanaan kegiatan eksekutip tersebut. Walaupun didampingi ahli dibidangnya namun bagaimana mungkin kalau yang bersangkutan nggak ngerti. Pada akhirnya kewenangan tersebut hanya digunakan untuk kongkalikong proyek saja .. iya nggak, iya nggak.
Bagaimana dengan fungsi pengawasan ? Nah kayaknya DPR/DPRD penting sekali ikut serta pada fungsi pengawasan ini, walaupun agar dapat bekerja dengan cepat dan sigap tetap saja harus memanfaatkan lembaga-lembaga pengawasan yang sudah ada pada pemerintah seperti BPK dll. Disinilah perlunya anggota DPR/DPRD didampingi tenaga-tenaga ahli dibidangnya masing-masing dalam rangka mengawasi dan mengetahui apakah pemerintah sudah melakukan kegiatan sesuai rencana yang dibuatnya sendiri.
Hal lain lagi yang tidak disadari kami rakyat ini adalah bahwa dengan bersatunya kewenangan fungsi anggaran dan fungsi pengawasan pada DPR/DPRD maka hal itu berarti kewenangan anggota dewan yang terhormat itu menjadi tak terbatas alias menjadi terbukalah peluang penyalah gunaan kewenangan karena bersatunya fungsi tersebut dalam satu badan.
Hipotesa awal terhadap akar masalah di Indonesia
Berdasarkan hal-hal tersebut rakyat mulai mereka-reka akar masalah dari semua carut-marut di negeri ini ternyata adalah diberikannya kewenangan fungsi anggaran kepada DPR/DPRD. Kalaupun tidak dihapuskan tapi kewenangan tersebut harus segera digunting alias dikurangi sebanyak 80% (dijamin anggota DPR/DPRD dengan arogannya akan marah-marah dech ...sereeem !).
Jadi fungsi pertama yg harus dijalankan anggota dewan tersebut tetaplah fungsi legislasi, berikutnya fungsi pengawasan. Bagaimana fungsi anggaran ? Ahhh enggak usahlah … atau kurangi hingga 80% !! Barulah pembangunan ini jalan dengan baik, terkoordinasi dengan baik, dan yang paling penting keputusan akan dibuat lebih cepat. Kalau rencana lambat, yahhh pelaksanaannya ya pasti telatlah, yang disalahkan pastilah pemerintah, enggak akan pernah dewan yang salah ya kaan ?
Pertanyaan : Maukah anggota dewan merubah (meng-amandemen) undang-undang yang jelas-jelas akan mengurangi kewenangannya sendiri ? Tidak akan pernah !!!!!!!!!!!!!!!!
Kesimpulan yang dimengerti rakyat
Tidak akan Indonesia menjadi maju dan berkembang dengan baik dan terkoordinasi baik serta terjadi peningkatan pembangunan secara cepat selama fungsi anggaran DPR/DPRD tidak dihilangkan, …... kecuali mahasiswa kembali berdemo seperti pada peristiwa malari dan atau masa peristiwa 98 lalu, wallahua'lam bissawab(BA-Dec-2k10).
www.billasbi.com
( bill asbi )
Cerita ini bermula saat saya pada tahun 1999 disaat terjadinya pemilu paling demokratis pertama (menurut saya) dilaksanakan setelah orde baru berkuasa mutlak selama lebih dari 30 tahun, yaitu ikut memikul tanggung jawab sebagai wakil ketua pengawas pemilu kota Bandarlampung.
Pada saat itulah saya mulai menyadari dan mencoba mendalami aspek hukum tata negara dalam bentuk nyata secara praktis. Sebelumnya saya hanya sedikit sekali memahami aspek praktis ini karena sejak kecil hanya mendapatkan dogma-dogma dan ataupun cekokan ideologi Pancasila & UUD-45 disekolah yang dijelaskan oleh guru dan atupun dosen-dosen secara teoritis belaka.
Sampai dengan saat ini saya merasa masih menjadi rakyat murni karena belum pernah sekalipun tercemar warna politik manapun ,belum pernah menjadi anggota partai politik dan atau afiliasi dari partai politik manapun, kata orang non-partisan lah istilahnya.
Kini pada tahun 2010 sepuluh tahun sudah berlalu, setelah rakyat Indonesia merasakan 3 (tiga) kali pemilu akbar bahkan pemilu langsung pemilihan presiden dan wakil presiden, maka rakyat masih merasakan ada sesuatu yang kurang puas didalam hati sanubari ini.
Rasa ketidakpuasan tersebut bukan hanya pada era presiden SBY saja, tapi juga dirasakan sejak jamannya Gus-Dur dan jamannya Megawati masih menjadi presiden, rakyat pun mencoba mengingat dan mereka-reka apa kiranya penyebab ketidakpuasan tersebut. Sesuai dengan kadar keilmuan yang dimiliki rakyatpun mencoba membuat analisis dengan kerangka pikir kegiatan rakyat sehari-hari khususnya pada kondisi belakangan (akhir-akhir) ini.
Hikmah terbesar yang diberikan reformasi
Setelah terjadinya reformasi diberbagai bidang selepas tahun 1998, yaitu dengan ditandainya babak baru tersebut pada pemilu 1999 saya mencoba melihat saat ini apakah yang kami rakyat terima sudah sesuai dengan harapan-harapan yang terjadi pada saat dulu itu ?
Berbagai kilas balik suasana politik dan pesta demokrasi tersebut silih berganti hingga saat ini tidak terasa rakyat sudah sampai dipenghujung tahun 2010, kembali lagi lah .. apa yang diperoleh saat ini ?
Setelah mencoba bolak-balik melihat, merasakan, mendengarkan, mengikuti, berbagai peristiwa tersebut tampaknya rakyat tidak sanggup untuk mencari 3 saja hikmah reformasi tersebut kecuali 2 (dua) hal yaitu “Kebebasan Pers” dan “Hak azazi manusia”. Mengapa ? Mengapa hanya kedua hal tersebut yang bolak-balik terasakan ? Mengapa yang lain tak terasakan ?
Ternyata rezim dulu itu (rezim orde baru) memang sangat tidak memiliki kebebasan pers sama sekali didalam suatu sistem kekuasaan negara/ pemerintahan yang sangat otoriter pula. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa hikmah terbesar dari reformasi adalah “kebebasan-pers” dan “HAM”.
Keraguan terhadap demokrasi
Kini dipenghujung tahun 2010 rakyat masih merasakan (baik nyata maupun secara psikologis) harga-harga yang membumbung tinggi, ditambah dengan sulitnya mencari pekerjaan yang layak yaitu yang paling tidak sama atau lebih sedikit saja dibandingkan upah minimum yang ditetapkan pemerintah.
Jalan/ jembatan/ irigasi dan pembangunan lainnya yang diperlukan rakyat (bukan gedung bertingkat , perumahan mewah dan mall-mall itu lho ) kok rasanya enggak tambah-tambah ya … oo ada satu “jembatan suramadu”, tapi .. bagaimana kami yang ditempat lain ini ?
Untuk pendidikan katanya ada 20% dari anggaran pemerintah, kok anak-anak dan keponakanku semakin susah masuk perguruan tinggi negeri ya ? Bahkan ternyata di PTN (Perguruan Tinggi Negeri) tersebut ada sistem penerimaan yang harus menguras uang puluhan bahkan ratusan juta rupiah ! Mana tahaan, mana mampu lah kami ini. Pada saat anak-anak dan keponakanku itu tidak bisa tembus PTN , ternyata biaya di PTS (perguruan tinggi swasta) tidak juga sanggup kami pikul.
Bagaimana masalah sosial ? Kayaknya setiap hari semakin banyak saja gelandangan dan pengemis berkeliaran bahkan mampir kerumah-rumah warga (yang pasti orkay dan pejabat enggak akan merasakan hal ini karena ada penjaganya alias satpam yang galak-galak itu), bahkan modus operasi nya lebih canggih-canggih lagi saat ini.
Bagaimana masalah keamanan ? Wah wah … mulai dari masalah teroris, perampokan hingga masalah sodomi dan mutilasi enggak berhenti-berhenti dech.
Bagaimana masalah korupsi ? Weleh weleh … akhirnya rakyat baru tau kalau pejabat Indonesia itu 90% koruptor, darimana tau ? Ya dari televisi lah, dikatakan disitu bahwa 90% pemerintah daerah yang ada sudah pernah masuk penjara karena kepala daerahnya korupsi, kalau pimpinannya korup yaa sudah pastilah anak buahnya korup juga wak. Kalau pimpinan bersih anak buah mungkin bersih tapi belum tentu, tapi kalau pimpinan korup sudah pasti anak buah ikut korup ya kan wak ?
Dari pandangan positip bisa dikatakan bahwa itu artinya pemerintah bisa membongkar berbagai borok-borok korupsi hampir diseluruh sektor kegiatan, termasuk dedengkotnya yaitu Polisi, Kejaksaan dan DPR. Tapi dari sudut pandang lain rakyat semakin ngeri dan semakin tidak percaya kepada lembaga resmi seperti Polisi, Kejaksaan dan DPR itu, kami tidak benci mereka tapi persepsi itu tumbuh begitu saja didalam kepala kami.
Pertanyaannya, mengapa setelah ada demokrasi banyak hal harus kami korbankan ? Mengapa ? Apakah demokrasi tidak berarti peluang bagi kami untuk meningkatkan taraf kehidupan kami secara ekonomi dan sosial ? Ahh anggap saja kami yang bodoh ini memang tidak ngerti apa itu demokrasi.
Trias Politica
Kata guru-guru kami dulu sewaktu belajar pendidikan kewargaan negara, di Perancis ditemukanlah konsep bernegara yang disebut 'trias-politica' tersebut. Katanya konsep tersebut memisahkan lembaga-lembaga negara dalam kelompok Legislatip-Eksekutip-Yudikatip.
Dengan bekal sesederhana itu saja rakyat coba melihat kondisi akhir-akhir ini dimana pembelajaran rakyat sudah agak lebih maju lagi sejak diperkenankannya televisi menyiarkan berbagai perdebatan orang-orang pintar khususnya perdebatan diseputar masalah hukum tata negara di negeri ini.
Menurut info dari televisi itu pula-lah kami rakyat jadi tau bahwa fungsi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) itu ada tiga, yaitu fungsi LEGISLASI, fungsi ANGGARAN dan fungsi PENGAWASAN.
Pengenalan dan pemahaman rakyat pada anggota DPR/DPRD
Dengan berjalannya waktu, dengan terbukanya informasi tentang gerak-gerik anggota DPR/DPRD di televisi, dengan pengalaman pribadi kami mendatangi/menjambangi anggota DPR/DPRD ditempat mereka bekerja paling tidak terbentuk pemahaman baru dibenak kami.
Kalau kami datang ke gedung DPR/DPRD, pada umumnya mereka (anggota DPR/DPRD) tersebut kami anggap kerja kalau mereka berada di ruang yang tulisannya KOMISI, sedangkan kalau kami bertemu mereka diruang FRAKSI (bahkan untuk sebagian DPRD mencari ruangan fraksi ini susah sekali karena tersembunyi dan berliku-liku) kayaknya kami seperti datang keruangan dimana kami diterima secara santai/tidak formal, serta seperti pertemuan diwarung kopi saja bahkan.
Diruangan fraksi itulah berbagai rahasia kehidupan siang dan malam anggota DPR/DPRD tersebut kami dengar dan ikuti secara seksama. Peranan anggota panitia anggaran untuk DPRD serta peranan anggota fraksi yang memikul jabatan ketua komisi juga membuat kami terkagum-kagum mengingat ternyata wibawa mereka sangat kuat dimata para pelaksana pemerintahan baik di pusat maupun didaerah.
Kaidah-kaidah Manajemen Umum dan fungsi DPR
Melihat ketiga fungsi yang ada dalam lembaga DPR tersebut maka kami coba mereka-reka peranan SAKRAL tersebut.
Pada fungsi legislasi sudah selayaknya DPR menjadi panglimanya, sesuai dengan judul dalam trias-politica nya Montesquieu, hal ini terlihat walaupun pemerintah bisa membuat Perppu namun posisinya kalah sebenang dibawah kekuasaan DPR, jadi pemerintah enggak bisa sewenang-wenang buat perpu sa'enak udelnya saja.
Pada fungsi anggaran kelihatannya agak aneh. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa yang ahli merencanakan pastilah ahlinya, jadi bukan DPR, perencana handal adanya di pemerintah, kalo jaman dulu ada BAPPENAS, anggaran pembangunan dan anggaran rutin digarapnya itu … oke sekarangpun tetap digarap pemerintah, tapi … harus disetujui dulu oleh DPR/DPRD wah wah gimana ini, coba kalo diserahkan ke DPR/DPRD .. pastilah mereka nggak bisa alias KO (knock-out) buat perencanaan yang disebutnya anggaran tersebut, alhasil benar sekali sebagaimana yang sering rakyat dengar diruang fraksi bahwa kewenangan tersebut pada akhirnya hanya dijadikan alat pemaksa agar rekanan yang melaksanakan anggaran harus mengikut sertakan pilihan oknum-oknum anggota DPR tersebut.
Yang paling cilaka .. apabila katakanlah semua rencana pemerintah propinsi yang seharusnya bisa dibuat secara terkoordinasi ditingkat nasional bisa diobrak-abrik oleh DPRD di propinsi tersebut dengan sewenang-wenang, maka bisa dibayangkan point-point anggaran yang tadinya prioritas bisa saja pada prosesnya melorot prioritasnya, artinya tidak akan mungkin secara nasional Indonesia mengalami kemajuan dengan perencanaan anggaran secara terpadu lagi.
Yang juga cilaka, katakanlah anggota DPRD tersebut dipilih rakyat secara demokratis, katakanlah misalnya rakyat memilih anggota DPRD 90% nya terdiri dari mantan guru agama dan mantan guru olahraga. Bagaimana mungkin para anggota DPRD tersebut dapat mengerti perencanaan kegiatan eksekutip secara terperinci ? Dengan kata lain tidak akan mungkin DPRD memiliki pas proporsi anggota DPR sesuai keahliannya dalam perencanaan kegiatan eksekutip tersebut. Walaupun didampingi ahli dibidangnya namun bagaimana mungkin kalau yang bersangkutan nggak ngerti. Pada akhirnya kewenangan tersebut hanya digunakan untuk kongkalikong proyek saja .. iya nggak, iya nggak.
Bagaimana dengan fungsi pengawasan ? Nah kayaknya DPR/DPRD penting sekali ikut serta pada fungsi pengawasan ini, walaupun agar dapat bekerja dengan cepat dan sigap tetap saja harus memanfaatkan lembaga-lembaga pengawasan yang sudah ada pada pemerintah seperti BPK dll. Disinilah perlunya anggota DPR/DPRD didampingi tenaga-tenaga ahli dibidangnya masing-masing dalam rangka mengawasi dan mengetahui apakah pemerintah sudah melakukan kegiatan sesuai rencana yang dibuatnya sendiri.
Hal lain lagi yang tidak disadari kami rakyat ini adalah bahwa dengan bersatunya kewenangan fungsi anggaran dan fungsi pengawasan pada DPR/DPRD maka hal itu berarti kewenangan anggota dewan yang terhormat itu menjadi tak terbatas alias menjadi terbukalah peluang penyalah gunaan kewenangan karena bersatunya fungsi tersebut dalam satu badan.
Hipotesa awal terhadap akar masalah di Indonesia
Berdasarkan hal-hal tersebut rakyat mulai mereka-reka akar masalah dari semua carut-marut di negeri ini ternyata adalah diberikannya kewenangan fungsi anggaran kepada DPR/DPRD. Kalaupun tidak dihapuskan tapi kewenangan tersebut harus segera digunting alias dikurangi sebanyak 80% (dijamin anggota DPR/DPRD dengan arogannya akan marah-marah dech ...sereeem !).
Jadi fungsi pertama yg harus dijalankan anggota dewan tersebut tetaplah fungsi legislasi, berikutnya fungsi pengawasan. Bagaimana fungsi anggaran ? Ahhh enggak usahlah … atau kurangi hingga 80% !! Barulah pembangunan ini jalan dengan baik, terkoordinasi dengan baik, dan yang paling penting keputusan akan dibuat lebih cepat. Kalau rencana lambat, yahhh pelaksanaannya ya pasti telatlah, yang disalahkan pastilah pemerintah, enggak akan pernah dewan yang salah ya kaan ?
Pertanyaan : Maukah anggota dewan merubah (meng-amandemen) undang-undang yang jelas-jelas akan mengurangi kewenangannya sendiri ? Tidak akan pernah !!!!!!!!!!!!!!!!
Kesimpulan yang dimengerti rakyat
Tidak akan Indonesia menjadi maju dan berkembang dengan baik dan terkoordinasi baik serta terjadi peningkatan pembangunan secara cepat selama fungsi anggaran DPR/DPRD tidak dihilangkan, …... kecuali mahasiswa kembali berdemo seperti pada peristiwa malari dan atau masa peristiwa 98 lalu, wallahua'lam bissawab(BA-Dec-2k10).
www.billasbi.com
( bill asbi )